Minggu, 10 Maret 2013

Alat - Alat Musik Tradisional

 
1.      Angklung




 
      Angklung adalah alat musik multitonal (bernada ganda) yang secara tradisional berkembang dalam masyarakat Sunda di Pulau Jawa bagian barat (Jawa Barat). Alat musik ini dibuat dari bambu, dibunyikan dengan cara digoyangkan (bunyi disebabkan oleh benturan badan pipa bambu) sehingga menghasilkan bunyi yang bergetar dalam susunan nada 2, 3, sampai 4 nada dalam setiap ukuran, baik besar maupun kecil.

2. Kolintang


      Kolintang atau kulintang adalah alat musik yang terdiri dari barisan gong kecil yang diletakkan mendatar. Alat musik ini dimainkan dengan diiringi oleh gong tergantung yang lebih besar dan drum. Kolintang merupakan bagian dari budaya gong Asia Tenggara, yang telah dimainkan selama berabad-abad di Kepulauan Melayu Timur – Filipina, Indonesia Timur, Malaysia Timur, Brunei, dan Timor. Alat musik ini berkembang dari tradisi pemberian isyarat sederhana menjadi bentuk seperti sekarang.Kegunaannya bergantung pada peradaban yang menggunakannya. Dengan pengaruh dari Hindu, Buddha, Islam,Kristen, dan Barat, Kulintang merupakan tradisi gong yang terus berkembang.

        Alat musik ini dibuat dari kayu lokal yang ringan namun kuat seperti telur, bandaran, wenang, kakinik kayu cempaka, dan yang mempunyai konstruksi fiber paralel. Nama kolintang berasal dari suaranya: tong (nada rendah), ting (nada tinggi) dan tang (nada biasa). Dalam bahasa daerah, ajakan "Mari kita lakukan TONG TING TANG" adalah: " Mangemo kumolintang". Ajakan tersebut akhirnya berubah menjadi kata kolintang.


2.      Rebana


         Rebana adalah gendang berbentuk bundar dan pipih. Bingkai berbentuk lingkaran dari kayu yang dibubut, dengan salah satu sisi untuk ditepuk berlapis kulit kambing. Kesenian di Malaysia, Brunei, Indonesia dan Singapura yang sering memakai rebana adalah musik irama padang pasir, misalnya, gambus, kasidah dan hadroh.
        Bagi masyarakat Melayu di negeri Pahang, permainan rebana sangat populer, terutamanya di kalangan penduduk di sekitar Sungai Pahang. Tepukan rebana mengiringi lagu-lagu tradisional seperti indong-indong, burung kenek-kenek, dan pelanduk-pelanduk. Di Malaysia, selain rebana berukuran biasa, terdapat juga rebana besar yang diberi nama Rebana Ubi, dimainkannya pada hari-hari raya untuk mempertandingkan bunyi dan irama.


4. Bedug


      Bedug adalah alat musik tabuh seperti gendang. Bedug merupakan instrumen musik tradisional yang telah digunakan sejak ribuan tahun lalu, yang memiliki fungsi sebagai alat komunikasi tradisional, baik dalam kegiatan ritual keagamaan maupun politik. Di Indonesia, sebuah bedug biasa dibunyikan untuk pemberitahuan mengenai waktu salat atau sembahyang. Bedug terbuat dari sepotong batang kayu besar atau pohon enau sepanjang kira-kira satu meter atau lebih. Bagian tengah batang dilubangi sehingga berbentuk tabung besar. Ujung batang yang berukuran lebih besar ditutup dengan kulit binatang yang berfungsi sebagai membran atau selaput gendang. Bila ditabuh, bedug menimbulkan suara berat, bernada khas, rendah, tetapi dapat terdengar sampai jarak yang cukup jauh.




5. Sasando

     Sasando adalah sebuah alat instrumen petik musik. Instumen musik ini berasal dari pulau Rote, Nusa Tenggara Timur. Secara harfiah nama Sasando menurut asal katanya dalam bahasa Rote, sasandu, yang artinya alat yang bergetar atau berbunyi. Konon sasando digunakan di kalangan masyarakat Rote sejak abad ke-7. Bentuk sasando ada miripnya dengan instrumen petik lainnya seperti gitar, biola dan kecapi.
      Bagian utama sasando berbentuk tabung panjang yang biasa terbuat dari bambu. Lalu pada bagian tengah, melingkar dari atas ke bawah diberi ganjalan-ganjalan di mana senar-senar (dawai-dawai) yang direntangkan di tabung, dari atas kebawah bertumpu. Ganjalan-ganjalan ini memberikan nada yang berbeda-beda kepada setiap petikan senar. Lalu tabung sasando ini ditaruh dalam sebuah wadah yang terbuat dari semacam anyaman daun lontar yang dibuat seperti kipas. Wadah ini merupakan tempat resonansi sasando.


6. Calung


           Calung adalah alat musik dari Sunda / Jawa Barat yang merupakan prototipe (purwarupa) dari angklung. Berbeda dengan angklung yang dimainkan dengan cara digoyangkan, cara menabuh calung adalah dengan memukul batang (wilahan, bilah) dari ruas-ruas (tabung bambu) yang tersusun menurut titi laras (tangga nada) pentatonik (da-mi-na-ti-la). Jenis bambu untuk pembuatan calung kebanyakan dari awi wulung (bambu hitam), namun ada pula yang dibuat dari awi temen (bambu yang berwarna putih).
Pengertian calung selain sebagai alat musik juga melekat dengan sebutan seni pertunjukan. Ada dua bentuk calung Sunda yang dikenal, yakni calung rantay dan calung jinjing.

7. Sampek


         Sampek adalah alat musik tradisional Suku Dayak, Kalimantan. Alat musik ini terbuat dari berbagai jenis kayu. Namun, yang paling sering dijadikan bahan adalah kayu arrow, kayu kapur, dan kayu ulin dan dibuat secara tradisional. Proses pembuatan bisa memakan waktu berminggu minggu. Dibuat dengan 3 senar, 4 senar dan 6 senar. Biasanya sampek akan diukir sesuai dengan keinginan pembuatnya, dan setiap ukiran memiliki arti.

8. Gamelan


          Gamelan adalah ensembel musik yang biasanya menonjolkan metalofon, gambang, gendang, dan gong. Istilah gamelan merujuk pada instrumennya / alatnya, yang mana merupakan satu kesatuan utuh yang diwujudkan dan dibunyikan bersama. Kata Gamelan sendiri berasal dari bahasa Jawa gamel yang berarti memukul / menabuh, diikuti akhiran an yang menjadikannya kata benda. Orkes gamelan kebanyakan terdapat di pulau Jawa, Madura, Bali, dan Lombok di Indonesia dalam berbagai jenis ukuran dan bentuk ensembel. Di Bali dan Lombok saat ini, dan di Jawa lewat abad ke-18, istilah gong lebih dianggap sinonim dengan gamelan.

9. Serunai

       Serunai, atau juga disebut puput serunai, adalah nama alat musik aerofonik (tiup) yang dikenal di Indonesia sebagai alat musik tradisional di masyarakat Minang. Bagian unik dari serunai adalah ujungnya yang mengembang, berfungsi untuk memperbesar volume suara.




  
10. Talempong
     Talempong adalah sebuah alat musik pukul khas suku bangsa Minangkabau. Bentuknya hampir sama dengan instrumen bonang dalam perangkat gamelan. Talempong dapat terbuat dari kuningan, namun ada pula yang terbuat dari kayu dan batu. Saat ini talempong dari jenis kuningan lebih banyak digunakan. Talempong ini berbentuk bundar pada bagian bawahnya berlobang sedangkan pada bagian atasnya terdapat bundaran yang menonjol berdiameter lima sentimeter sebagai tempat untuk dipukul. Talempong memiliki nada yang berbeda-beda. Bunyi dihasilkan dari sepasang kayu yang dipukulkan pada permukaannya.
Talempong biasanya digunakan untuk mengiringi tarian pertunjukan atau penyambutan, seperti Tari Piring yang khas, Tari Pasambahan, dan Tari Gelombang. Talempong juga digunakan untuk melantunkan musik menyambut tamu istimewa. Talempong ini memainkanya butuh kejelian dimulai dengan tangga pranada DO dan diakhiri dengan SI. Talempong diiringi oleh akord yang cara memainkanya serupa dengan memainkan piano.


11. Seruling


Suling adalah alat musik dari keluarga alat musik tiup kayu. Suara suling berciri lembut dan dapat dipadukan dengan alat musik lainnya dengan baik.Suling modern untuk para ahli umumnya  terbuat dari perak dan emas atau campuran keduanya. Sedangkan suling untuk pelajar umumnya terbuat dari nikel-perak, atau logam yang dilapisi perak.  

Suling konser standar ditalakan di C dan mempunyai jangkauan nada 3 oktaf dimulai dari middle C. Akan tetapi, pada beberapa suling untuk para ahli ada kunci tambahan untuk mencapai nada B di bawah middle C. Ini berarti suling merupakan salah satu alat musik orkes yang tinggi, hanya piccolo yang lebih tinggi lagi dari suling. Piccolo adalah suling kecil yang ditalakan satu oktaf lebih tinggi dari suling konser standar. Piccolo juga umumnya digunakan dalam orkes.

Suling konser modern memiliki banyak pilihan. Thumb key B-flat (diciptakan dan dirintis oleh Briccialdi) standar. B foot joint, akan tetapi, adalah pilihan ekstra untuk model menengah ke atas dan profesional. Suling open-holed, juga biasa disebut French Flute (di mana beberapa kunci memiliki lubang di tengahnya sehingga pemain harus menutupnya dengan jarinya) umum pada pemain tingkat konser. Namun beberapa pemain suling (terutama para pelajar, dan bahkan beberapa para ahli) memilih closed-hole plateau key. Para pelajar umumnya menggunakan penutup sementara untuk menutup lubang tersebut sampai mereka berhasil menguasai penempatan jari yang sangat tepat. 

Beberapa orang mempercayai bahwa kunci open-hole mampu menghasilkan suara yang lebih keras dan lebih jelas pada nada-nada rendah. Suling konser disebut juga suling Boehm, atau suling saja.

Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah.: SEJARAH SINGKAT PERPINDAHAN SUKU DAYAK BERUSU KABUPATEN MALINAU DAN KABUPATEN TANA TIDUNG

Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah.: SEJARAH SINGKAT PERPINDAHAN SUKU DAYAK BERUSU KABUPATEN MALINAU DAN KABUPATEN TANA TIDUNG

Sabtu, 09 Maret 2013

SEJARAH SINGKAT PERPINDAHAN SUKU DAYAK BERUSU KABUPATEN MALINAU DAN KABUPATEN TANA TIDUNG



1. Bengalun Lokou.

      Perkampungan Dayak Berusu yang pertama-tama dikenal adalah BENGALUN LOKOU, yaitu simpang Sungai Bengalun sebelah kiri. Sedangkan Sungai Bengalun sebelah kanan disebut BENGALUN PASOK. Pimpinan kampungnya adalah AKI SINGKIR KARAGANAN. )

Disamping itu ada lagi perkampungan Dayak Bulusu di Sungai Malinau, yaitu di Guang Sulok (Gong Sulok sekarang dan di Longob (Langap), pimpinan kampungnya bernama AKI ADANG, kira-kira pada abad  ke 11.

 

2. Baloi Batu.

      Setelah beberapa tahun, mereka pindah ke hulu Sungai Gita. Perkampungan mereka disebut    BALOI BATU Sungai Gita adalah simpang kanan Sungai Bengalun. (Kira-kira pada abad ke 12). Pimpinan kampungnya adalah AKI ANGKUB


3. Balaian Atud dan Alung Sangayan.

          Perpindahan yang berikut adalah di BALAYAN ATUD  yaitu terletak di Kuala Sungai Gita. (kira-kira pada abad ke 13 ). Pimpinan kampungnya adalah: AKI ASANG, kelompok lainnya ke ALUNG SENGAYAN  ( seberang kuala sungai Segayan ) pimpinan kampungnya adaLah AKI UGANG.


4. Baloi Panagar, Dansapi, dan Baloi RIAN.

          Perpindahan berikutnya terbagi menjadi 3 kelompok, yaitu   BALOI PANAGAR  ( sungai Bengalun ) dipimpin oleh AKI SAWEN, Baloi DANSAPI  ( sungai Seputuk/   Jembatan   sekarang )  pimpinannya adalah AKI UMPI  kemudian diteruskan oleh   anaknya AKI  OJOL. Sedangkan kelompok yang lainnya ke BALOI RIAN  ( kuala  Rian ) yang dipimpin oleh AKI UNDOK. (kira-kira abad  pada ke 13-14).

5. Baloi  Laid

      Setelah kelompok masyarakat semakin banyak, merekapun terpencar ke setiap anak sungai Sesayap sebelah kiri mudik seperti :  Sebawang, Sebidai, Sedulun, Rian, Seputuk dan  Bengalun.
        Khusus untuk kelompok DANSAPI  ( Seputuk ) kembali lagi ke sungai Bengalun tepatnya di  BALOI  LAID  ( disekitar Sempayang Lama di pimpin oleh  AKI OJOL  (  lebih kurang tahun 1915-1919 ).


6.  Baloi Pulutan.

      Kira-kira pada tahun 1920 an perpindahan kelompok ini terjadi lagi ke Baloi PULUTAN  Desa Sempayang Baru yang dipimpin oleh AKI BILUNG  ( Gelar AJI KUNING ) dan AKI UNGKAR.

7.Kampung Bengalun dan Sungoi Nyampo.

          Pada tahun 1932 dilakukan lagi perpindahan satu kelompok ke BALOI MURUK di Pimpin oleh AKI UNGKAR,  kemudian diresmikan menjadi  KAMPUNG   BENGALUN ( sekarang menjadi Desa Sesua  ), sedangkan kelompok lainnya ke SUNGOI NYAMPO, dipimpin oleh AKI IPU  ( Aji Kuning ). Jadi kelompok sungoi Nyampo  Itu gabung kembali di Kampung Bengalun. ( tahun 1956).

8. Desa Sesua.

        Pada tahun 1962 Kampung Bengalun diresmikan namanya menjadi DESA SESUA dengan alasan   untuk membedakan    2 kampung (desa),  yang ada di Sungai Bengalun saat itu yaitu : DESA SESUA dan DESA  BATU LIDUNG.
           Desa Batu Lidung dibentuk oleh Kampung Bengalun  ( Desa Sesua ) atas usul masyarakatnya dengan surat penyerahan wilayah oleh AKI UTUP dan Bpk YANCI ( tahun 1960 ). Penyerahan waktu itu dari muara Bengalun sampai ke Kuala Sengayan, kecuali pohon buah-buahan dan pohon madu. AKI UTUP merupakan kepala kampung pertama di Kampung Bengalun, disusul oleh Bpk  YANCI. Bpk. UGUR, Bpk JABIN JANTJE, Bpk SADIRIN, Bpk MATIUS YASIR  (Tahun 2011).

9. Desa Punan Bengalun.

               Desa Punan Bengalun dibentuk oleh Kepala Kampung Bengalun  (Aki Utup dan Pak Yanci) pada tahun 1959, dengan kedudukan di Kuala Somodondom. Kepala kampungnya bernama Aki Bilat, dengan penduduk berjumlah lebih kurang 5 kk. Waktu itu suku ini masih kental dengan budaya yang disebut MUBUT. (Mubut arti  berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah lain sesuai dengan musim buah atau musim babi). Karena itulah suku ini mempunyai tradisi hanya memiliki pondok-pondok darurat paling lama bertahan 1 – 2 bulan sesuai dengan musim yang ada. Sejak saat itu orang-orang Bulusu Sesua berusaha memberikan penyuluhan/pembinaan, bahkan membantu tenaga dengan tujuan agar keluarga dan sahabat mereka orang-orang Punan ini bisa membangun suatu perkampungan yang menetap agar bisa dilayani kesehatan dan pendidikannya dengan  sebaik-baiknya. Sebagai bukti keseriusan Sesua membangun mereka ini adalah dengan membangun satu unit sekolah umum di Kampung Lali, dan  menempatkan 2 kali guru sekolah yaitu Pak Abia (alm), dan Pak Yukang (tahun 1960 an).   Selanjutnya pada tahun 1980 an, terjalinlah kerjasama antara masyarakat Desa Sesua dengan Gereja Kristen Pemancar Injil (GKPI) melalui Progaram Perkemahan Pemuda secara Sinodal yang dipimpin oleh Bpk Jabin Jantje, dibuatlah denah dan tebasan /paret untuk perkampungan mereka di Mangkuasar seperti yang ada sekarang ini.  Karena itulah Masyarakat Desa Punan Bengalun merupakan Desa Binaan Desa Sesua dan dibantu oleh gereja GKPI. bah sekarang ini lebih dipererat lagi hubungan kedua desa ini  menjadi hubungan kekeluargaan,adat, dan budaya.

  
 NARA SUMBER :                                                                          
                                                                                                                                                   DISIMPULKAN DARI
   1. I M U S                 : ( 70 Tahun )                                           WAWANCARA / DISKUSI :
   2. YANCUR                ( 63  Tahun )
   3. I S U N                 : ( 65  Tahun )                                           Tanggal : 07 Okt. 1968
   4. YANCI                 : ( 60  Tahun )                                           Oleh: Drs. Jabin Jantje. 
   5. YASIR                  : ( 60  Tahun )                                                
   6. NANANG             : ( 59  Tahun )                                               


Disalin kembali sesuai aslinya  pada tanggal :  18 April  2012.


Oleh



                                                         ( Drs. Jabin Jantje )