Selasa, 01 November 2011

Krisis Sastra “Tanpa Pembaca” dan Lubang Perangkap

              Limabelas tahun lalu tepatnya pada tahun 1977 terjadi peristiwa sastra yang kontroversial. Pada saat itu Dewan Kesenian Jakarta (dewan tertinggi dalam kelembagaan sastra Indonesia), menjatuhkan pilihan pada kumpulan sajak Yudhistira ANM Sajak Sikat Gigi sebagai salah satu peraih penghargaan karya kepenyairan terbaik sejajar dengan karya-karya Sutardji Calzoum Bachri, Sitor Situmorang dan Abdul Hadi WM.
        Seusai keputusan itu, tiga penyair senior yang disebut belakangan menyatakan menolak terhadap penghargaan itu dengan alasan bahwa penilaian dewan juri tidak meyakinkan. Pada dasarnya, mereka tidak ingin disejajarkan dengan Yudhistira ANM yang dianggap masih muda.
        Tetapi peristiwa itu menandai suatu gejala menarik dalam sastra Indonesia ketika apa yang disebut beberapa pengamat sebagai sastra kitszc telah diterima sebagai karya sastra “mapan”.
Main-main
         Kumpulan sajak Yudhistira ANM Sajak Sikat Gigi merupakan salah satu contoh puisi “lugu” yang kemudian populer dengan nama “puisi mbeling”. sebagaimana yang dicetuskan Remy Sylado dalam lembaran puisi “main-main”-nya di majalah Aktual (yang sekarang telah lama almarhum).
           Pada waktu lembaran “Puisi Lugu” yang kemudian berubah nama menjadi “Puisi Mbeling” di majalah Aktual muncul secara teratur, ternyata puisi jenis itu termasuk paling banyak disukai – salah satunya karena nilai menghiburnya -. Saat itu, hadirnya trend puisi humor ini ternyata banyak mendapatkan tanggapan dari kalangan pengamat sastra, antara lain Sapardi Djoko Damono, Dami N Toda, dan lain-lain.
        Sialnya, kehadiran puisi mbeling hanya disebut sekadar sebagai “suatu fenomena”. Para kritisi sastra “mapan” menilai hampir tak ada “unsur sastra”-nya dalam karya puisi “mbeling” itu kecuali hanya “keinginan untuk menghibur”, keinginan untuk melucu. Benarkah begitu? Para penyair mbeling ternyata tak peduli apa tanggapan para “dewa sastra” itu.
       Puisi jenis inilah yang agaknya sesuai dan tepat bagi para “apresian” sastra muda. Karena aspek menghiburnya, maka akan menimbulkan daya tarik yang lebih besar di tengah miskinnya tingkat ketertarikan apresiatif generasi muda terhadap karya sastra. Hanya saja, apakah puisi humor sesuai dengan nilai-nilai edukatif yang mereka butuhkan?
Senior
         Tidak hanya para penyair pemula yang terlibat dalam penulisan puisi humor, beberapa penyair senior ternyata tak sedikit yang juga punya kecenderungan “mbeling” dalam penulisan puisi. Selain Yudhistira ANM, sebut saja nama-nama seperti Sutardji Calzoum Bachri, Darmanto Yaman, Eka Budianta, F. Rahardi, Taufik Ismail, Emha Ainun Najib, hingga Remy Sylado.
        Barangkali karena hanya “akibat sampingan”, dari nama-nama itu puisi humor yang mereka ciptakan merupakan puisi “lepas” dalam arti tak utuh dalam satu kumpulan. Terdapat beberapa puisi baru Taufik Ismail yang memiliki kecenderungan “humor”, namun belum ada buku Taufik Ismail yang secara khusus menghimpun puisi humornya ini.
          Penyair yang khusuk dengan nilai-nilai humor ini antara lain Yudhistira ANM dengan kumpulan puisinya Rudi Jalak Gugat dan Sajak Sikat Gigi yang menghimpun tiga kumpulan sajak terdahulunya Hari-hariku, Piala, Biarin!, dan Omong Kosong. Selain itu juga penyair F. Rahardi dengan kumpulan puisinya Soempah WTS, Catatan Harian Sang Koruptor, Silsilah Garong dan Tuyul.
        Kecenderungan “dasar” yang tampak dalam puisi-puisi “humor” kontemporer Indonesia ini adalah “protes sosial” dan “percabulan” pada batas-batas “estetik” tertentu. Misalnya, dalam konotasi tertentu penyair bicara tentang kondom (F. Rahardi), pakaian dalam (Seminar Sehari Celana Dalam, Taufik Ismail), pelacur (F. Rahardi, Rendra), berak (Jose Rizal Manua), perilaku seks keras majikan pada pembantunya (Rendra).
          Bahkan puisi-puisi tanpa nuansa-nuansa percabulan, karena efek pencarian humor, justru menimbulkan konotasi percabulan. Lihatlah puisi Yudhistira ANM (sajak Mencakar Dada Meremas Bukit); sambil cengar-cengir Bu Pun Su mengajar silat pada Ang Niocu murid perempuannya/lamanya sekian bulan/sesudah mahir Ang Niocu ujiannya menggeletak kena pukulan ciamik suhunya/dadanya jadi bengkak perutnya jadi kembung/itulah ajaran locianpwe budiman (1974).
                Apakah efek humor senantiasa hanya berkisar pada sudut-sudut sensitif “badan sensor” seperti ini?
Sialnya, puisi-puisi demikian sadar akan karakternya yang harus bisa dikomunikasikan dengan mudah, oleh karena bahasa ucapnya terasa sangat komunikatif dan punya “irama” yang enak didengarkan meskipun tanpa mempedulikan tatanan-tatanan persajakan yang baku. Ini semua dikarenakan oleh situasi yang mengharuskan puisi-puisi demikian untuk “dikomunikasikan” langsung dengan apresiatornya.
Memadaikah?
Dilihat dari keterlibatan beberapa penyair senior, semestinya materi apresiasi puisi untuk menjawab aspek “menyenangkan” sebagai motivasi awal tahap apresiasi bisa memadai. Tetapi dalam kenyataan, karena kecenderungan “dasar” yang telah disebut di muka, maka tidak banyak puisi demikian yang sesuai untuk apresian remaja.
           Dalam proses kreatifnya, para penyair ini memang tidak membatasi diri pada golongan apresiannya. Oleh karenanya mereka tidak terikat pada “pagar-pagar” yang mempersempit kebebasan kreatifnya. Jika terjadi pembentukan golongan apresian, itu adalah akibat yang terjadi di luar skenario.
         Yudhistira ketika menyelesaikan buku puisi Rudi Jalak Gugat sesungguhnya pasti sadar akan publik sastra yang akan mereka hadapi. Itulah sebabnya ia memilih idiom-idiom yang sesuai dengan latar kultural masyarakat sastranya yang merupakan kelompok kaum muda. Ia pun mengumpamakan mengenal “dunia batin” masyarakat sastranya itu – sehingga ia merasa menjadi “pembela”nya.
        Akan tetapi, apakah sastra tanpa memilah-milah golongan apresiannya – harus selalu membangun nuansa-nuansa untuk membangkit-bangkitkan “semangat” untuk “lantang” tanpa memberi alternatif? Karya sastra memang multi interpretasi, tetapi ketajaman interpretasi ternyata memerlukan proses panjang yang mengujinya. Apresian muda yang belum akrab dengan sastra, sudahkah mereka melewati proses panjang itu?
Puisi humor, sesungguhnya fenomena lama. Tetapi kadang “nafasnya” terlalu panjang pada saat sastra Indonesia mengalami krisis apresian. Dan generasi muda pembaca karya sastra bebas memilih materinya sendiri. 
 
sumber : 
Dorothea Rosa Herliany
Sinar Harapan 1992
Dijumput dari: http://frahardi.wordpress.com/2011/06/24/krisis-sastra-tanpa-pembaca-dan-lubang-perangkap/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar