Selasa, 08 November 2011

Mencari Kearifan Lokal Lewat Cerpen

            Buku ini berisi 20 cerita pendek yang ditulis oleh 11 orang pengarang dengan beragam latar kebudayaan dan daerah yang masing-masing cerita memuat setidaknya sebuah nilai tradisional yang kemudian mengantarkan pembaca untuk menikmati dan mengambil pengertian terhadap nilai tersebut.

            Benny Arnas dalam tiga cerpennya memuat; pandangan (mempunyai) anak lelaki lebih baik daripada anak perempuan, ilmu santet khas Sumatera Selatan, dan Seni Bertutur yang sudah lama hilang. Cesilia Cess memuat beberapa tradisi Bali dan Batak semacam Ngaben, dan Mangulosi.

Hanna Fransisca dalam dua cerpennya (Sembayang Makan Malam dan Hari Raya Hantu) memuat definisi kebahagiaan dan pandangan tentang menghormati (arwah) leluhur dalam kaitannya untuk meningkatkan kehidupan orang Singkawang. Secara umum, apa dan bagaimana cerpen-cerpen itu ditulis serta nilai-nilai tradisional yang terkandung telah diungkapkan dalam ”prolog” yang ditulis oleh Free Hearty. pengamat budaya yang juga dosen Uninversitas Al-Azhar Jakarta ini, di awal buku ”Kolecer dan Hari Raya Hantu : 20 Cerita Pendek Kearifan Lokal.”

Kearifan Lokal dan Ciri Lokalitas

         Kearifan lokal menurut Prof. Chatcharee Naritoom dari Universitas Kasetsart, Thailand adalah pengetahuan yang ditemukan atau dikemukakan oleh masyarakat tradisional melalui akumulasi pengalaman uji-coba dan terintegrasi dengan pemahaman lingkungan (baik alam maupun budaya) yang ada di sekelilingnya. Selanjutnya, kearifan lokal dapat ditarik ke lingkungan yang lebih luas – dalam hal ini masyarakat global – meskipun awalnya hanya bersifat lokal. Lebih lanjut lagi, menurut Prof Chatcharee Naritoom, kearifan lokal yang memadai dan sesuai akan mempunyai keuntungan untuk mendapatkan penghasilan, mengurangi biaya, serta meningkatkan efisiensi produksi, dan pada akhirnya meningkatkan kualitas hidup.

            Secara umum, kearifan lokal (dalam situs Departemen Sosial RI) dianggap pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Dengan pengertian-pengertian tersebut, kearifan lokal bukan sekedar nilai tradisi atau ciri lokalitas semata melainkan nilai tradisi yang mempunyai daya-guna untuk untuk mewujudkan harapan atau nilai-nilai kemapanan yang juga secara universal yang didamba-damba oleh manusia. Seperti dalam kata sagangan dari Prof. Riris K. Toha –Sarmpaet bahwa manusia secara umum mendambakan kebahagiaan, maka kearifan lokal bisa dikatakan langkah pertama yang harus dilakukan untuk menggapainya.

            Memang benar bahwa 20 cerpen dalam buku ini mengandung nilai atau ciri khas lokal, tetapi tidak semuanya berhasil menunjukkan kearifan lokal atau sering juga disebut sebagai local genius yang diinginkan dalam sampul bukunya. Kebanyakan terjebak dalam pengertian ciri khas lokal yang malah alih-alih menunjukkan keunggulan malah – dalam pengertian global – menghambat kebahagiaan yang diharap. Contohnya pada cerpen ”Anak Ibu yang Kembali”  karya Benny Arnas, di sana pandangan punya anak lelaki lebih baik daripada punya anak perempuan itu tidak dapat digolongkan dalam kearifan lokal karena toh memang tidak mampu menjawab pertanyaan zaman. Kini, di kota-kota besar, para orang tua lebih suka menginvestasikan hartanya untuk di masa tuanya nanti hidup leha-leha di rumah jompo elit tanpa memikirkan kehidupan anak-anaknya.  Demikian pula dengan cerpen Hari Pasar karya Nenden Lilis yang bercerita tentang kehidupan seorang pedagang di sebuah pasar yang punya banyak anak dan harus berhutang sana-sini untuk kehidupannya sehari-hari termasuk untuk modal usahanya. Kehidupan semacam ini adalah gambaran yang nyata yang ada di sekitar kita, dan kearifan yang ada di sana adalah kearifan universal di mana meskipun miskin, tetapi pasangan orang tua di dalam cerpen itu mati-matian menyuruh anak-anaknya tetap sekolah.

         Beberapa cerpen seperti Lali Panggora, Menunggu Matahari, Pastu, Baminantu, Tujuh, Antara Bali-Balige, bahkan Kolecer (yang dijadikan judul) semakin mempertegas bahwa kumpulan cerpen ini lebih tepat digolongkan pada cerpen-cerpen dengan nilai lokalitas atau ciri khas lokal.

Beberapa Kearifan Lokal yang Ada Pandangan untuk menyublimkan peristiwa dengan peristiwa lain, adalah salah satu ciri kearifan lokal. Contohnya di Desa Bihar, India. Di sana setiap melahirkan anak perempuan, orang tua diwajibkan menanam 10 bibit pohon buah. Dengan demikian, selalu ada panen buah-buahan yang bisa dinikmati baik secara utuh maupun dijual bagi masyarakat desa. Bagi orang Dayak, areal makam leluhur adalah daerah yang tidak boleh diupayakan lahannya. Dengan demikian, secara tidak langsung, orang-orang Dayak berhasil melakukan konservasi baik vegetasi maupun fauna yang ada di lingkungan tersebut. Hal semacam ini secara implisit dilakukan oleh Hanna Fransisca, Gunawan Maryanto, dan Sutan Iwan Soekry Munaf lewat cerpen-cerpennya.

             Sembayang Makan Malam menceritakan bagaimana nilai-nilai yang terkandung dalam tata cara hidangan Malam Tahun Baru, memang agak berbau tahayul, tetapi di sana ada harapan-harapan yang jelas. Demikian juga dengan tradisi ”membakar uang sembayang” dalam cerpen Hari Raya Hantu. Dalam Cerpen ”Sarpakenaka” peristiwa pembunuhan anggota-anggota kelompok partisan PKI dikelindankan dengan cara menyungging wayang pada kulit tubuh manusia! Dan tak kalah tragis, orang-orang albino pun disulap menjadi bayi-bayi raksasa dalam cerpen ” Pak Gubernur Belum Mendengar Cerita Ini.” Inilah yang khas dari kearifan lokal Indonesia pada umumnya. Menyamarkan sesuatu hal dengan hal yang lain. Contohlah ”pamali” bagi masyarakat Sunda. Biasanya ada sesuatu yang sangat logis di balik anjuran / larangan itu.

        Lissoi Di bagian akhir, terdapat satu tulisan yang disebut Epilog dengan judul Lissoi. Dituliskan bahwa Lissoi adalah lagu buatan Nahum Situmorang yang telah mendunia. Sepertinya, inilah harapan yang sebenarnya dalam pembuatan buku ini, ada banyak kearifan lokal yang tersaji yang nantinya akan menjadi nilai universal.

Dan sepertinya, dengan isi yang masih banyak mempertentangkan nilai tradisi dengan nilai universal dalam beberapa cerpen yang termuat di dalam buku itu, harapan itu bisa jadi masih berupa harapan belaka. (Sumber: Kompas, 14 Juli 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar