Selasa, 01 November 2011

MENULIS ITU BUKAN BANCI

         Kota Ponorogo memang tak asing lagi di telinga saya. Selain letak geografisnya yang berbatasan langsung dengan kota Magetan. Ponorogo juga terkenal dengan icon reognya yang bagi saya tak asing sama sekali. Sejak kecil saya sudah mengenal budaya reog melalui salah satu warga yang sedang melangsungkan hajatan. Mereka mengundang untuk hiburan para tamu undangan. Tapi sekarang tradisi Itu mulai luntur di desa kami.
            Saya juga banyak mengenal beberapa teman di Ponorogo selama saya tinggal di Hong Kong. Bahkan beberapa tetangga saya banyak yang berjodohan dengan warga Ponorogo. Dan satu hal yang tidak bisa saya hindari, saya pun berjodoh dengan laki-laki berdarah Ponorogo. Sesuatu yang serba kebetulan menurut saya tapi satu hal yang harus saya percaya bahwa semua itu adalah rencana Allah Swt.
         Ponorogo makin lekat di telinga saya, saat suami saya sering pamit ke Ponorogo menemui teman-teman sepemikiran, seprofesi, dan seaktifitas. Nama Jenggo dan Hadi selalu menjadi bahan perbincangan dengan saya saat dia pulang ke rumah. Saya menangkap keakraban diantara mereka. Alhamdulillah, suami saya telah menemukan komunitas. Ada saja hal-hal lucu dan menarik dari cerita suami. Satu hal yang sering membuat saya iri pada suami, yakni saat dia pamer nasi tiwul di rumah Mbah Wo (Kamituo) di sebuah dusun Pandan Sari di Kaki Kahyangan Ponorogo. Saya pun berpikir, kapan saya bisa ke sana, kapan suami bisa menepati janjinya mengajak saya camping di Kaki Kahyangan.
           Suatu saat suami mentransfer SMS dari Jenggo, Panitia Jambore Sastra 2009 di Ponorogo. Jenggo meminta saya menjadi pemateri seminar penulisan cerpen. Setelah saya klarifikasi, hal yang membuat saya terperanjat adalah kemungkinan besar dihadiri oleh para guru dan pelajar yang akan dibagi menjadi dua sesi. Saya berpikir, saya harus siap mental dong. Walaupun saat di Hong Kong saya sering berhadapan dengan teman-teman berdiskusi soal tulisan, tapi sudah cukup lama saya fakum menunggu hadirnya makhluk kecil dalam rahim saya. Tapi kali ini saya tak bisa menolaknya. Ini kesempatan saya memberikan yang terbaik untuk diri saya dan mereka yang membutuhkan.
          Selama pembahasan kepanitian, suami sering wira-wiri ke Ponorogo. Saya mulai cemas dengan kondisi fisiknya. Saya takut ia ngedrop karena kecapekan. Saya pun harus bisa bersabar untuk bisa ke Kaki Kahyangan karena kondisi fisik saya yang juga lagi lemah. Saya pun lebih banyak istirahat di rumah selama control ke RSI Madiun setiap bulannya. Alhamdulillah kondisi fisik saya mulai membaik.
              Tanggal 23 Mei 2009, saya merasa fit dan siap menjadi pemateri talkshow yang bertema, ‘Ayo Nulis Cerpen’, walaupun dua tiga hari sebelumnya saya bersama suami sempat terpontang-panting saat meliput jatuhnya pesawat Hercules C130 di Magetan yang tak jauh dari tempat kami tinggal.
            Usai subuh, 23 Mei 2009 itu, kami berdua berangkat ke kaki Kahyangan. Begitu memasuki Pulung, udara sejuk mulai merayapi kulit kami. Terlebih ketika kami sudah sampai di kecamatan Pudak. Saya kedinginan. Menyesal saya tak mengenakan jaket yang lebih tebal. Saya pun bertukar dengan jaket suami yang lebih tebal. Sarapan di rumah Mbah Wo dengan nasi putih & tiwul dengan lauk kerupuk dan sayur lodeh terasa sangat nikmat. Udara dingin membuat nafsu makan kami lebih menggigit.
           Pukul sembilan pagi lebih sekian, saya harus duduk berhadap-hadapan dengan kurang lebih 90 guru dari TK hingga SLTA. Ternyata tidak ada pelajar. Hanya para guru. Tapi benarkah para guru itu serius ingin nulis cerpen atau sebatas mengejar sertifikat berstempel diknas? Apapun alasannya, saya dan Pak Bonarie Nabonenar yang saat itu berdua menjadi pemateri merasa senang karena telah bisa berbuat untuk yang membutuhkan. Saya menangkap keseriusan dari beberapa guru yang berminat nulis.
               Diantara para guru ada yang curhat bingung memindahkan pikiran di otak ke dalam tulisan. Ada yang curhat juga bagaimana bila sudah pernah ngirim tulisan tapi tak di muat di media masa? Diantara beberapa pertanyaan, ada satu yang menarik, yaitu dari peserta bernama Nur cahyono, yang mengatakan bahwa ia pernah menuliskan kisah keseharian waktu SLTA, tapi mandek karena diolok-olok oleh temannya bahwa menulis itu banci.
                Dari Kaki Kahyangan, banyak hal yang bisa saya ambil hikmahnya. Kerukunan warga dan pemuda Pandan Sari. Hal itu terbukti saat usai talkshow, dan berlanjut ke materi workshob teater oleh Pak Kuspriantonama dan Pak Arim Kamandaka sebagai nara sumbernya. Mengamati Pak Kus, saya teringat dengan guru saya bahasa Indonesia di SLTP 2 Takeran, Bpk. Suprapto. Gaya bicaranya mirip banget. Dan Pak Arim yang bisa mencairkan suasana serius membuat workshob basik teater serasa berlalu tanpa waktu. Pak Kus menyerahkan sebuah buku berjudul Redi Lawu, dan setelah saya buka isinya, ternyata berupa antologi pusi. Kemudian saya serahkan juga buku saya Perempuan di Negeri Beton. Pak Kus memesan agar kami hadir di acara peluncuran Redi Lawu di TB Solo, 25 Mei 09.
           Di ujung acara, saya dan suami pamit berdua untuk sebentar singgah di Kaki Kahyangan. Jalanan bermakadam dan menanjak bukan penghalang untuk kami. Karena rasa was-was takut terjatuh itu tergantikan dengan hijaunya kaki Kahyangan. Rimbunnya hutan Kahyangan, pohon-pohon pinus yang berdiri gagah, hamparan tanaman milik petani, gemericik air nan jernih dan sapaan lembut semilir angin mampu melupakan segala penat. Saya bermain-main dengan air jernih yang menggelitik untuk di sentuh. Saya telah lupa kalau air itu sangat dingin. Saya baru sadar saat kaki kiri saya terpeleset dari batu dan terendam air. Sepatu dan kaos kaki basah. Saya lepas. Saya teruskan bermain-main dengan air. Sementara suami saya sibuk mengabadikan tingkah kanak-kanak saya. “Pa, suatu saat kita harus bisa camping di sini. Lebih seru kalau bersama Pak Jenggo dan keluarganya.” Suami saya mengiyakan. Sebelum meninggalkan Kaki Kahyangan saya sempat membeli sawi putih yang baru dipetik oleh petani Dusun Pandan Sari. Dengan uang lima ribu rupiah, tas plastic bekas belanja di Mitra yang kusodorkan terisi penuh total. Lumayan untuk oleh-oleh.
          Satu hal mengesankan dari cerita suamiku saat kami sudah berada di rumah, suamiku mengatakan,”Ma, tadi aku sempat tanya ke salah satu peserta yang ternyata kepala sekolah SDN Pudak Wetan tentang kesan-kesannya ikut talkshow kemarin,” trus apa jawabnya?” tanyaku.
“Peserta bernama Bu Titik Cahyani bilang ngga percaya kalau yang sedang berbicara sebagai pemateri itu adalah seorang mantan TKW. Ia mengatakan masyarakat harus mulai membuka wawasan dan cara pandang terhadap TKW.” Saya tersenyum menanggapi. “Papa bangga memiliki Mama,” lanjut suami saya.
Ah, aku pun tersipu malu. Sebegitunyakah? Toh saya tak pernah peduli dengan bagaimana orang memandang saya. Itu hak mereka. Prinsip saya, rasa percaya diri wajib dimiliki oleh setiap orang. Tidak perlu mengacu pada jenis pekerjaan, status social, ataupun jenis kelamin. Termasuk saya. Saya berhak menjadikan diri saya yang terbaik. Untuk diri saya, untuk siapapun yang membutuhkan. 


[Magetan, 25 mei 2009]
Sumber tulisan: http://winakarnie76.multiply.com/journal/item/183
*) Wina Karnie adalah nama Pena dari Winarsih Mohamad Karnie. Ia dilahirkan di kota Magetan, 30 April 1976. Ibunya bernama Wainem dan ayahnya adalah Mohamad Karni. Ia menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SDN 1 Duyung, dan melanjutkan ke SLTP Negeri 2 Takeran dan menyelesaikan SLTA di SMA Negeri 3 Magetan. Tahun 1995 ia membulatkan tekadnya ke Hong Kong dan bekerja sebagai pekerja migran. Ia menuliskan diarenya hampir tiap hari disela waktu luangnya. Tahun 2003 merupakan tonggak sejarah yang tak pernah dilupakannya ketika ia mampu menyabet juara lomba penulisan cerpen yang diadakan oleh media Berita Indonesia di HKG dan KJRI-HK.
Sejak itu Istri dari Amiwan Ahmad Syifa’i Salahuddin Al-Ayyubi ini aktif menulis dan bergabung di FLPHK pada 15 Februari 2004. Ia aktif di pengurusan FLP-HK dan tahun ini terpilih sebagai wakil ketua FLP-HK 2006-2007. Ia juga aktif di milis penulisan terutama Café de Kosta, Apresiasi Sastra, Penyair, dan Lingkar pena Yahoogroups. Tiga cerpennya ada di buku Antologi Hong Kong, Namaku Peri Cinta. Cerpen itu diantaranya ; Hujan Masih Menjanjikan Cinta, Jilbab in Hong Kong, Beri Aku Kamboja. . Cerpen-cerpennya yang lain juga pernah bertebaran di Tabloid Intermezo, Helper, dan Berita Indonesia. Dan tahun 2005, Wina juga dipercaya oleh GIA-HK sebagai tim penyeleksian naskah lomba opini/juri dan lomba cerpen di FLP-HK. Wanita yang gemar membaca dan berorganisasi ini ingin menjadikan dirinya seorang peri yang tak pernah berhenti mengurai cahaya lewat penanya.
Wina Karnie juga pernah terlibat dalam workshop penulisan di Hong Kong sebagai moderator. Bersama Asma Nadia di Islamic Union Wanchai pada bulan Juni 2005. Workshop penulisan cerpen dan Esai bersama Kuswinarto dan Bonari Nabonenar di Hong Kong City University pada bulan Juli 2005. Bersama Helvy Tiana Rosa dalam kiat penulisan fiksi di Hong Kong City University pada September 2005. Kisah bangkit dari ‘Patah Hati -nya’ terangkum dalam Galz, Please don’t Cry! bersama Asma Nadia dkk.

sumber : 
Wina Karnie * http://winakarnie76.multiply.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar